Pembahasan RUU Buntu, KPU Siapkan Dua Versi Tahapan Pemilu 2019

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyiapkan dua draf Peraturan KPU tentang Tahapan Pemilu. Keduanya disiapkan sebagai bahan Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, dua versi tersebut dibuat guna mengantisipasi pembahasan RUU Pemilu akan tak kunjung rampung. Arief menuturkan, dua draf tersebut dibuat agar setelah pembahasan RUU Pemilu di DPR rampung, pihaknya bisa langsung menggodok teknis kepemiluan lebih gesit.
Menurutnya, tahapan kepemiluan akan mulai dilaksanakan dalam Agustus 2017 mendatang. "Kami mau dua-duanya kami siap. Ini antisipasi saja supaya begitu lengangbil putusan jalan langsung," ucap Arief dalam Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (19/6).
Arief menjelaskan, dua versi tercantum mengatur semua teknis tahapan kepemiluan. Dari keduanya, lanjut Arief, tak ada perjarakan yang signifikan. Arief mencontohkan, perjarakan di kedua draf tercantum seperti dari masa pemutakhiran data pemilih dan tahapan kampanye. Kendati tak berjarak maksimal, kedua draf itu punya implikasi yang cukup adi terhadap aturan-aturan turunannya.
(Baca juga: RUU Pemilu Buntu, Pansus DPR Siapkan Tiga Skenario)
"Beberapa catatan itu pasti menciptakan selisih karena itu berimplikasi memakai akan PKPU lain. Aturan itu pun akan kita susun berdasarkan tahapan ini, mana akan prioritas, mana lantas akan bisa diselesaikan belakangan," tambahnya.
Adapun pembahasan RUU Pemilu masih mengalami deadlock. Pemerintah bersama DPR belum ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold). Sebab, Pemerintah menginginkan ambang batas pencalonan presiden sehebat 20-25 persen, yakni 20 persen kursi bersama 25 persen suara nasional.
Sementara, suara fraksi akan DPR terbelah menjabat tiga, yakni mengikuti pemerintah, 0 persen, lagi 10-15 persen. PDI Perjuangan, Nasdem, lagi Golkar memilih opsi 20-25 persen bagai pemerintah. PKB, PPP, Hanura, PAN, lagi PKS memilih opsi 10-15 persen. Adapun Demokrat lagi Gerindra memilih opsi 0 persen.
Permaluputan ambang batas pencalonan presiden seakuratnya disebabkan efek adanya persenjang an tafsir konstitusional. Pemerintah berpendapat, opsi ambang batas seagung 20-25 persen dipilih bertimbang arahan Presiden RI Joko Widodo.
(Baca pun: DPR Minta Pemerintah Tinjau Ulang Penurunan Anggaran Polri 2018)
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengatakan, Jokowi meminta opsi terkandung guna meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Dia membantah tudingan jika opsi ambang batas calon presiden terkandung diarahkan agar sekadar terdapat calon tunggal saat Pilpres 2019.
Menurut Tjahjo, ambang batas seagam 20-25 persen telah terbukti pada 2009 maka 2014 tidak menghasilkan calon tunggal. "Jadi kalau ada yang menerangkan atas mengarah ke calon tunggal, enggak mungkin," kata Tjahjo.
Sementara itu, partai pemilih opsi ambang batas pencalonan Presiden 0 persen laksana Gerindra menilai tahapan Pemilu 2019 tidak memungkinkan adanya ambang batas. Pasalnya, pemilu Presiden dan legislatif dilaksanakan secara serentak.
"Kami tetap 0 persen disebabkan soal yang kami yakini karena pemilunya serentak maka tidak dimungkinkan ada ambang batas," ujar Ketua DPP Gerindra, Ahmad Riza Patria.
(Baca juga: Blokir Tak Efektif, Menkominfo Harap Fatwa MUI Berantas Hoax)
Menurut Riza, pemerintah tak memahami Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 terkait pemilu serentak jika tetap menggunakan ambang batas pencalonan Presiden. Dia pun menyayangkan sikap pemerintah yang tetap bersikeras menginginkan ambang batas sebesar 20-25 persen.
Pembahasan RUU Pemilu ditunda engat tanggal 10 Juli 2017. Ketika itu, pembahasan RUU Pemilu harus mencapai keputusan tingkat Pansus. "Kami bakal selesaikan di masa sidang ini tanggal 29 Juli. Disepakati di Paripurna tanggal 20 Juli," ucap Riza.